Jumat, 14 September 2007

GAYA HIDUP ANAK MUDA MODERN

“nggak gaul lu!”
Bagi anak muda tentunya ejekan seperti itu sudah sering kali terlontar dalam perbincangan disesamanya, walau kata gaul sudah bukan hal yang asing lagi bagi mereka, akan tetapi masing-masing dari mereka mempunyai anggapan yang berbeda-beda tentang penerjemahan gaul itu sendiri. Beberapa dari mereka menganggap diskotik, mall, kafe, dan tempat-tempat nongkrong merupakan tempat yang dapat merepresentasikan kegaulan mereka. Selain tempat gaul untuk kumpul, penampilan tetaplah menjadi modal utama. Dari segi penampilan, biasanya dari jenis atau model yang sedang ngetrend dikalangannya, tentunya semua itu didapat dari tempat-tempat yang cukup mewah, dan dengan harga yang tidak murah juga tentunya. Dengan memakai barang atau aksesoris (dari sendal, celana, t-shirt, hingga tindik) dengan harga yang berkisar 70.000-an keatas bagi meraka juga merupakan suatu penanda. Jika demikian, gaul adalah bentuk perilaku yang mengonsumsi gaya hidup populer.
Menurut Budi Susanto (penghibur-an) gaya hidup adalah sebentuk penampilan (representasi) luar yang menandai identitas tertentu dalam konteks hidup sosial budaya publik. Hal ini dapat kita lihat melalui gaya hidup anak punk dan anak gaul. Masing-masing dari kelompok ini mempunyai cara sendiri untuk menandai identitas mereka baik dari segi penampilan maupun tempat nongkrong.
Jadi, gaul yang merupakan sebuah gaya hidup ini, hanyalah suatu identitas yang terbentuk dari cara individunya dalam mengakses informasi yang tersosialisasikan, melalui informasi yang tersosialisasi inilah kemudian terbentuk sebuah budaya populer dikalangan masyarakat. Ragamnya anggapan gaul dikalangan anak muda disebabkan oleh setiap lapisan sosial mempunyai gaya hidup yang berbeda-beda. Dan dengan tampil modis bukan bertujuan memudahkan komunikasi saja akan tetapi dapat diartikan sebagai simbol identitas. Dimana hal tersebut juga menimbulkan pembatas identitas anatar kelompok.
Dari sini kita bisa bayangkan kenapa anak muda saat ini senang sekali jika disebut “anak gaul” dan mereka juga bersikeras mempertahankan predikat tersebut? Hal ini dikarenakan gaya hidup merupakan simbol prestise yang bisa juga bersifat modis untuk mendapatkan status sosial, gaya hidup gaul yang proses penyebarannya melalui komunikasi massa dan dapat menembus batas kelas-kelas sosal dimasyarakat dan meluber dari komunikasi massa ini melahirkan pola kehidupan yang demokratis, gaya hidup yang tidak lagi menjadi privelese bagi suatu kelompok dalam kelas-kelas sosial. Maka dari itulah dengan bergaya gaul mereka merasa berada pada status kelas sosial yang sama
Gengsi adalah penghormatan yang didapat melalui posisi seseorang dalam masyarakat yang menimbulkan respek/rasa hormat tanpa mengindahkan karakter orang yang menempati kelas sosial tersebut (Patrick Guinness, Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung). Kerena dengan gaya hidup metropolis yang berbau kemewahan inilah kita dapat “membeli status sosial” sebagai contoh seorang wetres akan memberikan pelayanan yang sama kepada setiap pengunjung walaupun ia seorang pejabat, akan tetapi bila pengunjung tersebut memberikan tips yang lebih atau besar, maka ia akan mendapatkan pelayanan yang lebih dari pada pelanggan yang biasa (yang tidak memberi tips) dari wetres tersebut tanpa memandang kedudukannya.
Politik Konsumerisme Dalam Pemasaran
Disamping ingin dianggap gaul, para anak muda menginginkan dirinya untuk tampil menarik didepan publik, hal ini terbangun dari para kapitalis yang menciptakan image-imageyang mengidentifikasi identitas kaum muda melalu media: majalah, televisi termasuk iklan, sinetron dan film yang secara halus menanamkan doktrin bagaimana seharusnya mereka menjadi kaum muda yang termasuk dalam hal perilaku dan gaya hidupnya. Lihat saja film, iklan, sinetron dan pada media masa yang kebanyakan diperankaqn oleh kaum muda untuk menegaskan eksistensi dirinya dimasyarakat. Dengan tampil menarik inilah mereka bisa menambah kepercayaan diri tentunya untuk mendapatkan semua itu dibutukan pengeluaran yang tidak sedikit. Dibawah ini adalah pengeluaran yang harus Dwi(19) keluarkan,
Kaos Radio Aktif Rp. 25.000,-
Celana panjang Embo Rp. 95.000,-
Jaket CL Klarisska Rp. 110.000,-
HP Nokia 6680 Rp.2.900.000,-
Sepatu Power Rp. 120.000,-
Dompet Rock Stuff Rp. 20.000,-
Kaos kaki Rp. 4.000,-
Celana dalam GT-man Rp. 10.000,-
Kaca mata Rp. 20.000,-
Total Rp.3.584.000,-
Dari total pengeluaran ini masih belum termasuk pengeluaran setiap bulan serta kebutuhan lainnya. Lalu berapa jumlah pengeluaran yang anda butuhkan untuk memperoleh penampilan terbaik anda dan pengeluaran setiap bulannya?
Dalam fenomena kepercayaan diri bagi anak muda ini, masing-masing dari mereka mempunyai gaya atau ciri yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh selera dari masing masing individu dalaqm menangkap ikon-ikon dan pencitraan dari media masa, media elektronik, atau melalui event-event yang secara halus mengajarkan cara berpenampilan.
Melalui model remaja yang sedang populer kemudian dijadikan ikon oleh industri sebagai representasi dari label anak muda tersebut yang kemudian diyakini sebagai sebuah style yang populer.
Turner ( )menyebutkan “tubuh sebagai sebuah proyek”, dengan kata lain tubuh sebagai perhatian gaya hidup, coba kita lihat kita lihat strategi pemasaran yang menggunakan SPG (sales promotion girl) yang mereka jalankan pada dasarnya adalah manipulasi gerak tubuh. Dalam kaitannya dengan politk konsumerisme bagai mana cara mempertontonkan diri agar mampu menampilkan citra produk yang dijualnya, Dengan kata lain hal ini untuk menjadi suatu budaya tontonan (a culture of spectacle), tidak terkeciali tubuh kita sendiri (Christina S.Handayani, penghibur-an).
Besarnya peluang bisnis dalam perwujudan konsep cantik dan tampan ini, maka banyak usaha yang bergerak guna menawarkan konsep tersebut seperti halnya salon. Belum penampilan, seperti pablik figur, model, penjaga toko, pramugari lagi banyaknya kesempatan/peluang kerja yang dinilai melalui, sales,dll.

PANGGUNG PROMOSI

Kartu Perdana Jempol

Panggung yang secara umum kita kenal adalah panggung pementasan/pertunjukan. Biasanya panggung tersebut berbentuk persegi, pada dasarnya fungsi panggung adalah sebagai alat bantu pertunjukan yang berupa ruang, dimana ruang tersebut yang nantinya digunakan sebagai tempat terjadinya aksi pertunjukan supaya menciptakan focus interest, akan tetapi saat ini perngertian panggung sudah jauh lebih berkembang, panggung yang sekarang tidak mempunyai batasan bentuk, waktu serta jarak. Jadi, pemakaian panggung secara modern adalah dengan berbaur serta bersama dengan audiennya
Melihat peningkatan pemakaian HP, tentunya bagi XL, Flexi, Simpati, Mentari, Fren, dan lainnya mengangap sebuah peluang. Dengan ketatnya persaingan, maka masing-masing tentunya berusaha semaxsimal mungkin untuk menarik konsumen dengan memasarkan keunggulan produknya. Seperti yang dilakukan XL Jempol belum lama ini, mengadakan program baru bagi pengguna kartu perdana Jempol yaitu berupa kejutan dengan memberikan bonus pulsa sebesar 40 ribu rupiah, bonus 25 SMS, SMS 45 rupiah, dan info lowongan kerja
Dalam mempublikasikan produknya Xl Jempol menggunakan 2 buah konsep yaitu yang pertama komunikasi yang dilihat sebagai kegiatan sosial yang dikenal secara konvensional, yaitu pihak yang menyampaikan suatu “hal”. Kegiatan ini berupa penyampaian tanda/signal dan pada dasarnya merupakan upaya untuk mengatasi jarak dan waktu. Kata kunci dalam konsep ini adalah penyampaian (transmision). Dalam konsep ini yang dilakukan adalah dengan memasang iklan di televisi.
Sedangkan yang kedua tidaklah bertumpu pada penyampaian yang mengatasi jarak dan waktu tetapi pada kebersamaan. Dengan begitu komunikasi bukan berarti menyampaikan pesan antara suatu pihak yang terpisah dari pihak lainnya, tetapi perwujudan dari kepercayaan bersama (representasion of shared beliefs). Pesannya adalah produk tersebut sebagai produk bersama dalam pemaknaan kehidupan bersama. Cara ini adalah publikasi, yaitu dengan mengumumkan program kejutan.
Walau sebenarnya pengetian antara periklanan dan publikasi tdaklah berbeda, akan tetapi dalam segi-segi tertentu dapat dibedakan (Bedjo Riyanto. Iklan Surat Kabar) yaitu periklanan merupakan kegiatan komunikasi yang komersial (membayar ruang media yang digunakan) sedangkan pubikasi non komersial (anggarannya bersifat tidak langsung dan kecil prosentasenya). Dari kedua cara ini sebenarnya mempunyai keuntungan sendiri-sendiri, keuntungan dari iklan Jempol yang ditanyangkan di televisi yaitu mempunyai daya jangkau yang luas, dan karena ditayangkan berulang kali maka secara psikis dapat membangkitkan kesadaran konsumen tentang adanya produk tersebut yang merupakan suatu kebutuhan bagi konsumen yang hanya dapat dipenuhi dan dipuaskan oleh produk yang ditawarkan.
Lain halnya dengan publikasi, dengan memakai cara publikasi maka pembangunan selera konsumen akan lebih tercipta kerena adanya pertemuan langsung. Belum lagi trik yang digunakan yaitu dengan melakukan kampanye di jalan menggunakan sepeda ontel (sepeda jawa) lengkap dengan busana jawa lengkap, dan ditamba lagi dari masing-masing sepeda yang sudah dihias hijau itu membawa bord (papan) yang bertuliskan JEMPOL, TUNGGU, KEJUTAN, DARI, dan KAMI selama 5 hari dan setelah hari keenam diganti dengan tulisan JEMPOL, BONUS PULSA RP.40.000,00, BONUS 25 SMS, SMS RP.45,00, INFO LOWONGAN KERJA. Sepeda dan busana disini difungsikan sebagai penarik perhatian dan penggalan kalimat berfungsi daya tarik untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, sedangkan pemberitaan akan adanya kejutan berfungsi sebagai pemancing emosi konsumen, adapun tanggapan langsung dari masyarakat antara lain “ooo...Jempol”, “mas kejutane opo...”,”bayare piro mas”, “jempol kesukaan ku”, ada juga yang melirik malu-malu, ketawa terbahak-bahak, tersenyum simpul, dan masih banyak lagi.
Jika kita lihat panggung yang dibuat XL Jampol maka itu adalah bukanlah panggung pertunjukan akan tetapi panggung ekonomis yaitu dimana tujuan dari panggung tersebut adalah memasarkan produk, secara politis mempengaruhi audien untuk membeli atau memakai produk yang ditawarkan.

MALL DAN POLITIK RUANG PUBLIK

Mal jika dibandingkan dengan toko atau pasar tradisional lainnya, tentunya mall adalah pasar yang paling modern, dikarenakan mal mempunyai system perbelanjaan yang lebih mutakhir, secara terus menerus menyuguhkan pelanggan dengan rangkaian produk, pelayanan, suasana serta lingkukan yang selalu memanjakan. Dengan adanya ketentuan bebas keluar masuk mall, maka mall dapat juga diartikan sebagai “ruang publik”. Namun, jika ruang publik cenderung dibangun oleh representasi dan tindakan (action) yang tanpa adanya pemahaman akan fungsi dari ruang publik itu sendiri, maka akan cenderung menghasilkan budaya politik populer, yaitu budaya politik yang didalamnya ada ruang publik. F. Budi Hardiman (Rupblik Tanpa Ruang Publik, IRE PRESS, Agustus 2005) menuliskan, politik ruang publik selain bersifat iklusif, egaliter dan bebas tekan, ciri-ciri lainnya adalah pluralisme, multikulturalisme dan toleransi. Lantas bagaimanakah masyarakat menerjemahkaan mall dan politik ruang publik?Menurut Arsita Iswardhani (21) seorang mahasiswi Komunikasi UGM, yang biasa dipanggil Sita “ mall adalah salah satu ruang public, alasan dibuatnya karena untuk menghadirkan suasana placing hiburan yang baru, disamping mereka bisa mendapat hiburan baru, mereka juga bisa berbelanja untuk memenuhi kebutuhan, bermain serta nongkrong. Menurut Nendra Setiawan (18 ), Mahasiswa Akakom, konsumernya mayoritas dari kalangan menengah keatas, dan menjadikan suatu image tersendiri. bagi kalangan kebawah, mall memiliki fungsi tersendiri yaitu sebatas dapat diakses dengan bebas, akan tetapi menurut Agus Nur Prabowo (30), aktifis Nirlaba, keberadaannya tetap tersekmentasikan. Hal ini diperkuat oleh dengan menceritakan pengalaman yang diperoleh dari salah satu kenalannya yang bernama Wawan. “belum lama ini, teman bule (orang luar negri) ku mengajak Wawan untuk nonton acara di Galeria mall, akan tetapi sesampainya di sana, Wawan yang pada dasarnya seorang anak jalanan itu merasa tidak nyaman, ia merasa minder (malu) ketika ia berada di Galeria mall “ kata Agus. Memang menurut Agus, mall bersifat umum, siapa saja bisa mengakses akan tetapi, mall bukanlah murni ruang public ia adalah semi ruang public.Pada dasarnya, masyarakat sangat membutuhkan adanya ruang publik, namun jika kita membandingkan ruang publik yang ada di Indonesia dengan yang ada di Cina, Korea selatan atau di negara berkembang lainnya, tentunya akan terlihat berbeda sekali misalnya, dari segi ketertipannya saja sangat disiplin dalam menaati peraturan.“Memang harga jual produk di mall relative lebih tinggi dari pada harga jual produk di luaran mall, hal ini menurut Agus, yang dijual bukan produknya melainkan image serta citra dan yang lebih penting lagi pihak swasta lebih mengedepankan kepuasan pengunjung dalam arti pengunjung memang dimanjakan. Menurut Sita, berdirinya mall memang dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Dari segi bisnis, privatisasi ruang publik memang sengaja dibentuk oleh investor, disamping untuk menumbuhkan image sehingga menjadikannya sebuah pasar potensial yang orientasinya adalah keuntungan, tambah Tovic Dwi Raharjo (24), Pustakawan. Menurut Agus dan Tovic, disisi lain pemerintah diuntungkan melalui perijinan dan pajak, sedangkan pengguna atau konsumen sangat diuntungkan karena akses menjadi singkat, dan tentunya dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.Bagi pemerintah yang memang bertanggung jawab atas ruang publik itu sendiri menurut Sita cukup dengan membuat peraturan saja, selebihnya tinggal menertibkan aturan-aturan yang sudah dibuatnya, jadi status pemerintah adalah suatu badan yang menjadi pusat kontrol mengenai pengadaan ruang publik.“Wong nak ra di batesi nggo aturan, mengko meng nuruti napsu wae” dalam bahasa Jawa yang artinya kalau tidak ada peraturan, nanti Cuma menuruti egonya saja kata Tovic. “Birocrat is not democrative” kata Sita, seharusnya system birokrasi pemerintah jangan hanya menguntungkan kaum pemodal saja.Menurut Agus, dalam pengelolaannya, ruang publik seharusnya menjadi tanggung jawab dari pemerintah, namun pemerintah sepertinya dalam pengelolan ruang publik kurang serius untuk menanganinya, Lain lagi pendapat dengan Nendra, pemerintah dirasa tidak memperhatikan warganya. Hal ini dapat dilihat melalui bentuk ruang publiknya, antara yang dikelola pemerintahan sendiri dengan ruang publik yang diswastanisasikan atau ditangani pihak swasta.Walaupun menurut Sita, sebenarnya siapa yang mengelola itu bukanlah suatu masalah, akan tetapi peran pemerintah kemudian ada pada pengaturan untuk pengadaan ruang publik oleh swasta.

KAOS DAN IDENTITAS ANAK MUDA

Jika kita berbicara tentang kaos tentunya kita akan merujuk pada fashion (gaya, mode), mengalirnya fashion di pusat-pusat perbelanjaan memberikan pengaruh yang besar sekali dalam memacu kecepatan produksi dan konsumsi masyarakat. Seperti halnya kaos, bukan hanya gambarnya yang berfaritif, akan tetapi hingga pada model kaos yang juga semakin berfariasi. Bagi anak muda kebanyakan kaos merupakan fashion sehari-hari tentunya jika bandingkan dengan baju (kemeja). Disamping mereka merasa nyaman, kaos dapat juga memberikan kesan santai tetapi tetap gagah.Bagi anak muda sendiri pemikiran tentang kaos tidak berhenti pada rasa nyaman dan kesan santai saja. Seperti halnya, Jawa, dibaca Jawak (23) dari komunitas sketbord gedung pusat yang kesehariannya lebih menyukai memakai kaos dari pada memakai baju (kemeja), dia mengatakan “walaupun kaos bukan satu-satunya ikon anak sketers, akan tetapi kita bisa menilai apakah dia anak sketers dari tampilan kaosnya.” Memang fashion anak sketers selain kaos, masih mempunyai faktor pendukung lainnya, seperti halnya celana lebar, musik, dan sepatu, akan tetapi semua itu hanya untuk memberikan nilai tambah dalam penumbuhan image anak sketers. Seperti kata Jawa, untuk mengidentifikasi kita bisa melihat dari kaosnya dengan memperhatikan disaign, kombinasi warna, dan mereknya. Adapun yang dimaksud adalah desaign simpel dalam arti tidak ramit, kombinasi warna tidak jauh dari warna hitam, hijau, coklat, biru, dan merah (dengan catatan tampil mecing) sedangkan merek, biasanya mereka memakai merek lokal, seperti 347, Hello sketbord, Oval Risert, dll.Menurut Jawa, kaos diartikan sebagai identitas anak muda. Seperti pada teman-teman sketersnya, dengan menirukan fashion atau ikon sketers seperti Paul ro Driquez, Pjladd, dll. Dapat memberikan sugesti pada sketers untuk semakin menambah kempuan dalam trik berseluncur, dan masing-masing dari mereka mempunyai gaya sendiri-sendiri akan tetapi tetap tidak terlepas dari identitas anak sketers.Dari keterangan Jawa, masyarakat khususnya anak muda memang dikondisikan untuk mengkonsumsi trend yang kemudian dijadikan sebagai identitas, dan biasanya mereka dapatkan dari teman-teman, video, majalah, dan situs internet. Pada anak skaters, kebanyakan dari mereka mendapatkannya dari majalah, seperti majalah Trend Sword, Lokal Happen, Skatboard mad, The Skatboard Directory, dsb.Dari pernyataan diatas, penanaman image seperti yang dikatakan Jawa memang sengaja dibuat untuk dikonsumsi, dengan memakai ikon atau model sebagai media promosi maka, masyarakat dituntun untuk mengadopsi trend atau gaya yang ditawarkan melalui pencitraan. Dimas Baruna Putra (18) yang biasa dipanggil Dimas mengatakan bahwa ”untuk saat ini trend yang diadopsi oleh anak muda didapat dari pengruh luar”. Adanya internet, Televisi, dan media massa membawa pengaruh besar pada masyarakat untuk memilih trend seperti apa yang mereka anut.Pencitraan yang sengaja dibangun melalui kaos pada dasarnya memang sengaja difungsikan sebagai media penyeragaman dan penumbuhan identitas, seperti halnya yang terjadi pada anak gank, kampanye pemilu, dll. Dengan menyeragamkan baik model kaos, design, atau warna kaos, mereka dapat merasakan adanya keterikatan satu sama lain yang menjadikan mereka merasa menjadi bagian dari komunitas serta, yang tidak kalah pentingnya adalah penanaman eksisitensi dari indifidu itu sendiri yang menyebabkan ia mendapat pengakuan dari masyarakat (diluar komunitas). Bagi mereka, status sosial bukanlah sesuatu masalah ketika mereka membawa identitas yang sama, dan dengan sendirinya dengan adanya penyeragaman maka, kesenjangan social melalui penampilan akan hilang karena semuam tampak sama.

Penulis: Tri, dan Billy

JAFF

Acara Film Scereening and discussion yang mesih dalam rangkaian Jogja-NETPAC ASIAN FILM FESTIVAL 2007, di Taman Budaya Yogyakarta (31/07/07), dari 09.00 AM-03.00PM ini, mendapatkan perhatian yang sangat besar sekali dari anak muda Jogja maupun luar Jogja, khususnya bagi kalangan filmmaker.Film yang dipitar antara lain, “KITORANG PUNYA MAMA” menceritakan tentang kurangnya fasilitas kesehatan di NTT yang menyebapkan tingginya angka kematian dalam persalinan, “AIR MATA IBU” adalah kisah perjuangan aktifis perempuan di Papua dalam kesetaraan gender, “DREAMLAND” menceritakan perjuangan warga dalam menuntut hak atas tanah mereka yang dirusak oleh PT Indorayon yang pada saat itu diabaikan oleh pemerintah, “TRILOGI POLITIK” menggambarkan sosok Indonesia baik dari bahasa, suku, adat, budaya, dll,”BULAN SETENGAH SETENGAH DI ATAS ACEH” menceritakan masyarakat Aceh sesudah bencana tsunami yaitu, dalam masalah penyaluran bantuan dari pemerintah.Setelah pemutaran film, kemudian acara dilanjutka dengan disssion dengan pembicara Lexi Rambadetta (Offstream), Dian Herdiany (Kampung Halaman), Emanuel Subangun (Film Critik), dan moderator Tonny Trimarsanto, dengan pokok bahasan “DIASPORA WITNESS CINEMA”.

(BP, TWP)

Budaya Amplop

oleh:Billy Praditya
Adanya budaya “amplop” dalam berumah tangga dirasa cukup memberatkan para keluarga khususnya dari kalangan menengah kebawah. Dalam event-event tertentu seperti pernikahan, khitanan, syukuran dan lain-lain, para keuarga yang mendapatkan undangan atau ucapan rasa syukur dengan sendirinya dalam “hukum sosial” yang ada diwajibkan “membayar” apa yang didapat, menurut status sosialnya, biasanya jumlah minimum yang harus dikeluarkan Rp. 20.000,00.Pada kelurga di kampung-kampung kebanyakan tidak sedikit yang merasa diberatkan, akan tetapi tidak bisa berbuat apa-apa dikerenakan untuk mempertahankan status sosialnya, walau sering kali bila mengalami kebuntuan dalam masalah ekonominya mereka harus mencari pinjaman dan rata-rata kebanyakan mereka harus mengembalikan beserta bunganya karenakan event-event itu diadakan mendadak atau tidak menentu.Walau tidak ada aturan baku dalam masyarakat bahwa diharuskan “membayar” , akan tetapi terdapat pemahaman dalam masyarakat bila menerima wajib memberi, bila hal itu di langgar, seperti halnya pelaku krimnal yang mendapatkan hukuman di dalam kehidupan sosial bermasyarakat pun terdapat hukuman sendiri, di sini kelurga mau tidak mau tetap harus rela menerima resikonya. Kebanyakan resiko yang harus ditanggung antara lain jadi bahan gunjingan warga, tidak mendapatkan berita kedua kalinya (dari yang punya acara), status sosialnya menjadi rendah/tidak di akui, dan lain-lain. Hal itu di karenakan yang punya event atau acara mengharapkan dapat mengalami balik modal dan tidak mau menderita kerugian.