Jumat, 14 September 2007

Budaya Amplop

oleh:Billy Praditya
Adanya budaya “amplop” dalam berumah tangga dirasa cukup memberatkan para keluarga khususnya dari kalangan menengah kebawah. Dalam event-event tertentu seperti pernikahan, khitanan, syukuran dan lain-lain, para keuarga yang mendapatkan undangan atau ucapan rasa syukur dengan sendirinya dalam “hukum sosial” yang ada diwajibkan “membayar” apa yang didapat, menurut status sosialnya, biasanya jumlah minimum yang harus dikeluarkan Rp. 20.000,00.Pada kelurga di kampung-kampung kebanyakan tidak sedikit yang merasa diberatkan, akan tetapi tidak bisa berbuat apa-apa dikerenakan untuk mempertahankan status sosialnya, walau sering kali bila mengalami kebuntuan dalam masalah ekonominya mereka harus mencari pinjaman dan rata-rata kebanyakan mereka harus mengembalikan beserta bunganya karenakan event-event itu diadakan mendadak atau tidak menentu.Walau tidak ada aturan baku dalam masyarakat bahwa diharuskan “membayar” , akan tetapi terdapat pemahaman dalam masyarakat bila menerima wajib memberi, bila hal itu di langgar, seperti halnya pelaku krimnal yang mendapatkan hukuman di dalam kehidupan sosial bermasyarakat pun terdapat hukuman sendiri, di sini kelurga mau tidak mau tetap harus rela menerima resikonya. Kebanyakan resiko yang harus ditanggung antara lain jadi bahan gunjingan warga, tidak mendapatkan berita kedua kalinya (dari yang punya acara), status sosialnya menjadi rendah/tidak di akui, dan lain-lain. Hal itu di karenakan yang punya event atau acara mengharapkan dapat mengalami balik modal dan tidak mau menderita kerugian.

Tidak ada komentar: