Jumat, 14 September 2007

MALL DAN POLITIK RUANG PUBLIK

Mal jika dibandingkan dengan toko atau pasar tradisional lainnya, tentunya mall adalah pasar yang paling modern, dikarenakan mal mempunyai system perbelanjaan yang lebih mutakhir, secara terus menerus menyuguhkan pelanggan dengan rangkaian produk, pelayanan, suasana serta lingkukan yang selalu memanjakan. Dengan adanya ketentuan bebas keluar masuk mall, maka mall dapat juga diartikan sebagai “ruang publik”. Namun, jika ruang publik cenderung dibangun oleh representasi dan tindakan (action) yang tanpa adanya pemahaman akan fungsi dari ruang publik itu sendiri, maka akan cenderung menghasilkan budaya politik populer, yaitu budaya politik yang didalamnya ada ruang publik. F. Budi Hardiman (Rupblik Tanpa Ruang Publik, IRE PRESS, Agustus 2005) menuliskan, politik ruang publik selain bersifat iklusif, egaliter dan bebas tekan, ciri-ciri lainnya adalah pluralisme, multikulturalisme dan toleransi. Lantas bagaimanakah masyarakat menerjemahkaan mall dan politik ruang publik?Menurut Arsita Iswardhani (21) seorang mahasiswi Komunikasi UGM, yang biasa dipanggil Sita “ mall adalah salah satu ruang public, alasan dibuatnya karena untuk menghadirkan suasana placing hiburan yang baru, disamping mereka bisa mendapat hiburan baru, mereka juga bisa berbelanja untuk memenuhi kebutuhan, bermain serta nongkrong. Menurut Nendra Setiawan (18 ), Mahasiswa Akakom, konsumernya mayoritas dari kalangan menengah keatas, dan menjadikan suatu image tersendiri. bagi kalangan kebawah, mall memiliki fungsi tersendiri yaitu sebatas dapat diakses dengan bebas, akan tetapi menurut Agus Nur Prabowo (30), aktifis Nirlaba, keberadaannya tetap tersekmentasikan. Hal ini diperkuat oleh dengan menceritakan pengalaman yang diperoleh dari salah satu kenalannya yang bernama Wawan. “belum lama ini, teman bule (orang luar negri) ku mengajak Wawan untuk nonton acara di Galeria mall, akan tetapi sesampainya di sana, Wawan yang pada dasarnya seorang anak jalanan itu merasa tidak nyaman, ia merasa minder (malu) ketika ia berada di Galeria mall “ kata Agus. Memang menurut Agus, mall bersifat umum, siapa saja bisa mengakses akan tetapi, mall bukanlah murni ruang public ia adalah semi ruang public.Pada dasarnya, masyarakat sangat membutuhkan adanya ruang publik, namun jika kita membandingkan ruang publik yang ada di Indonesia dengan yang ada di Cina, Korea selatan atau di negara berkembang lainnya, tentunya akan terlihat berbeda sekali misalnya, dari segi ketertipannya saja sangat disiplin dalam menaati peraturan.“Memang harga jual produk di mall relative lebih tinggi dari pada harga jual produk di luaran mall, hal ini menurut Agus, yang dijual bukan produknya melainkan image serta citra dan yang lebih penting lagi pihak swasta lebih mengedepankan kepuasan pengunjung dalam arti pengunjung memang dimanjakan. Menurut Sita, berdirinya mall memang dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Dari segi bisnis, privatisasi ruang publik memang sengaja dibentuk oleh investor, disamping untuk menumbuhkan image sehingga menjadikannya sebuah pasar potensial yang orientasinya adalah keuntungan, tambah Tovic Dwi Raharjo (24), Pustakawan. Menurut Agus dan Tovic, disisi lain pemerintah diuntungkan melalui perijinan dan pajak, sedangkan pengguna atau konsumen sangat diuntungkan karena akses menjadi singkat, dan tentunya dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.Bagi pemerintah yang memang bertanggung jawab atas ruang publik itu sendiri menurut Sita cukup dengan membuat peraturan saja, selebihnya tinggal menertibkan aturan-aturan yang sudah dibuatnya, jadi status pemerintah adalah suatu badan yang menjadi pusat kontrol mengenai pengadaan ruang publik.“Wong nak ra di batesi nggo aturan, mengko meng nuruti napsu wae” dalam bahasa Jawa yang artinya kalau tidak ada peraturan, nanti Cuma menuruti egonya saja kata Tovic. “Birocrat is not democrative” kata Sita, seharusnya system birokrasi pemerintah jangan hanya menguntungkan kaum pemodal saja.Menurut Agus, dalam pengelolaannya, ruang publik seharusnya menjadi tanggung jawab dari pemerintah, namun pemerintah sepertinya dalam pengelolan ruang publik kurang serius untuk menanganinya, Lain lagi pendapat dengan Nendra, pemerintah dirasa tidak memperhatikan warganya. Hal ini dapat dilihat melalui bentuk ruang publiknya, antara yang dikelola pemerintahan sendiri dengan ruang publik yang diswastanisasikan atau ditangani pihak swasta.Walaupun menurut Sita, sebenarnya siapa yang mengelola itu bukanlah suatu masalah, akan tetapi peran pemerintah kemudian ada pada pengaturan untuk pengadaan ruang publik oleh swasta.

Tidak ada komentar: